Desa Perjuangan Desa Terlupakan

Tugu Perjuangan peninggalan Kapten Berlian


Di Rejang Lebong (RL) pertempuran hebat pernah terjadi di Desa Tabarenah (dulu Dusun Tabarenah). Pertempuran yang tidak sedikit memakan jumlah korban jiwa. Baik dari pihak tentara dan juga masyarakat sipil yang bahu membahu mempertahankan Kemerdekaan RI. Bagaimana kisah pertempuran Tabarenah? Berikut cerita saksi hidup pada waktu itu, Amirudin warga Desa Tabarenah.

 "Hingga akhirnya, Jepang kembali ke markasnya Dwitunggal dengan membawa 9 truk berisi mayat tentara Jepang."

Meskipun, Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sudah di Proklamirkan, 17 Agustus 1945. Namun, pergolakan dan pertempuran sengit masih terjadi. Tentara Jepang masih menjadi ancaman, khususnya masyarakat Curup dan sekitarnya. Terjadilah pertempuran hebat di Kota Curup dan sekitarnya pada 27 Desember 1945. Pertempuran menghadapi tentara Jepang itu, melibatkan TKR dan rakyat Rejang Lebong. TKR memusatkan kekuatannya di Dusun Tabarenah. Sementara, Jepang mengirim utusan tentaranya dengan membawa ancaman bagi TKR. Namun, justeru TKR dan rakyat menjadi bertambah semangat untuk melawan habis-habisan. Menurut, Amarudin, seorang saksi hidup yang mengetahui sejarah pertempuran Tabarenah.

Komandan Pertempuran waktu itu adalah Kapten Berlian. Namun, menurut catatan di Monumen Tabarenah yang diresmikan tahun 1999, tongkat komando diserahkan kepada Staf Batalion R. Iskandar Ismail dibantu Kepala Mobilisasi/Latihan Rakyat MZ Ranni, 30 Desember 1945. Menjelang Fajar, Jepang menyerang Tabarenah. Jembatan pehubung di Desa Tabarenah menjadi ajang perebutan kedua belah pihak. Menurut Amirudin, jembatan Tabarenah sengaja diputus dan dihancurkan agar Jepang tak bisa melewati Tabarenah untuk menuju ke Lebong. Hanya saja karena kalah dibidang persenjataan, akhirnya Jepang dapat memasuki Tabarenah. "Waktu itu seingat saya, kita hanya ada 4 senapan berkaki 4 sebagai pertahanan," tukas Amirudin yang lahir di tahun 1939 di Dusun tabarenah itu.
Jembatan sisa-sia pertempuran yang dulu sempat dihancurkan.

Jepang membabi buta dan membakar rumah-rumah rakyat. Tabarenah berkobar, dari 66 rumah yang ada hanya tersisa 6 rumah milik warga. Dan banyak bergelimpangan korban nyawa, baik dari masyarakat sipil, TKR dan tentara Jepang. Pertempuran secara frontal terjadi di Desa Tabarenah, TKR bersama rakyat dengan modal keberanian dan keikhlasan mati-matian membela dan mempertahankan NKRI. Hingga akhirnya, menurut Amirudin, Jepang kembali ke markasnya Dwitunggal dengan membawa 9 truk berisi mayat tentara Jepang.

Pihak Rakyat TKR yang turut berjuang diantaranya, Rakyat Muara Aman, Ujung Tanjung, Talang Leak, Kota Donok, Air Dingin, Bukit Daun, Pal Delapan, Tabarenah, Curup dan BPRI Curup. "Saat ini saya masih ingat di mana-mana saja kuburan massal tempat menguburkan jenazah yang meninggal pada waktu itu," kata Amiriudin. Hanya, saja tempat itu sudah tidak berbekas, sebagai kuburan massal.

Tahun 1949, Kapten Berlian membangun sebuah tugu tanda di sana pernah meletusnya perjuangan rakyat. Tugu tersebut diberi nama, Tugu 45. Dikatakan Amirudin, Kapten Berlian membangun Tugu tersebut sebagai ucapan terimakasih kepada masyarakat Tabarenah yang sudah membantu TKR mempertahankan kemerdekaan. "Waktu itu Kapten Berlian bilang, kalau dia tidak sanggup untuk membangun kembali rumah-rumah warga. Oleh karenanya, sebagai pengganti dibangunlah Tugu tersebut dan juga Masjid Rijal yang ada di Tabarenah," cerita Amirudin.

Sayangnya, tugu perjuangan itu, kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Tidak ada perhatian dari Pemerintah bagaimana wujud menghargai sebuah Tugu perjuangan. Letaknya yang berada di tepi tebing dan kiondisinya sudah mulai hancur itu, tampak sekali tak terawat. "Kebetulan saya Ketua LKMD, saya sisakan sedikit dana LKMD untuk mengecat Tugu. Kalau dari pemerintah belum ada sama sekali," cetus Amirudin. Kalau Bisa, diharapkan Amirudin, Tugu 45 itu dimundurkan sedikit mengarah ke tengah.

Monumen yang diresmikan Gubernur Bengkulu, Adjis Ahmad

Selain itu, dari pantauan saya Monumen untuk mempringati dan mengenang perjuangan rakyat yang terletak tidak jauh dari Jembatan Tabarenah kondisinyapun sama, sangat tidak terawat. Rumput ilalang tumbuh disekelilingnya. Monumen yang diresmikan tahun 1999 oleh Gubernur Bengkulu, Drs H Adjis Ahmad dan Pangdam II Sriwijaya Mayjend. Afandi, SIP itu bagaikan hanya sekedar batu pajangan belaka. Untuk menuju tugu dan monumen tidak ada kemasan bahwa daerah tersebut adalah daerah perjuangan. "Cobalah pemerintah perhatikan desa kami ini. Dulu kami sampai memakai celana dan baju karung goni. Sekarang sudah enak. Saya bisa menyampaikan lewat adek-adek inilah, kalau membuat surat resmi saya tidak bisa. Saya orangnya tidak sekolah," pungkas Amirudin berharap.(**)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close