Partai Coro Ingin Ikutan Pemilu


Melihat dinamika perpolitikan dalam negeri yang semakin tidak jelas arah dan tujuannya, maka segelintir orang yang mengaku sebagai “kaum cilik” berniat mendirikan partai politik baru, yang memiliki visi dan misi sebagai pembela masyarakat kecil, terpinggirkan dan terlupakan.

Mereka adalah, Mat Becak yang sehari-harinya berprofesi sebagai tukang becak, kemudian Man Ojek, berprofesi sebagai tukang ojek, Parmin pedagang ikan laut di pasar tradisional, Abrul seorang pengangguran yang bermimpi jadi anggota dewan. Joni, seorang pelaut yang mengaku miris melihat hasil laut negeri ini selalu dicuri dan dirampas oleh para pengusaha besar. Mereka sepakat memberi nama partainya ‘Partai Coro’ yang bertekad mengangkat harkat dan martabat rakyat kecil, sehingga tidak lagi direndahkan, dihina dan dinistakan.

Selama ini, mereka beranggapan, bahwa rakyat kecil hanya dijadikan objek semata. Mereka baru diperhatikan, diberi janji-janji hanya pada saat menjelang pemilu. Namun, pada kenyataannya janji hanyalah tinggal janji. “Cuma di PHP doang,” ujar Mat Becak.

Partai Coro memiliki jargon “Bukan Janji Palsu”. Karena, selama ini mereka merasa bahwa apa yang telah dijanjikan, belum direalisasikan. Seperti, terbukanya lapangan kerja baru. Bukannya terbuka lapangan kerja baru, justru ruang gerak mencari nafkah semakin sulit, becak sudah lama tidak digenjot, paling-paling digunakan hanya ketika pendaftaran kepala daerah atau pada saat pendaftaran partai politik. Hasil laut dikuasai pemilik modal, menjadi tukang ojek harus punya ponsel android. Diperparah harga sembako yang terus melambung semakin tinggi. “Menjadi pengangguran pun sekarang harus bersaing dengan pengangguran sarjana,” timpal Abrul mengeluh.

Tetapi, dengan mulai dibukanya pendaftaran partai politik, ini menjadi peluang bagi mereka untuk ikut serta di kontestasi politik dalam negeri. Mereka ingin mengubah hidupnya sebagai seorang politikus. “Bukankah menjadi politikus itu mudah, modalnya cukup pandai berbicara. Sebagai pedagang, saya sudah terbiasa merayu calon pembeli saya,” cetus Parmin.

Lama juga mereka berdiskusi, di sebuah warung kopi yang tidak jauh dari pasar, membahas rencana menjadi peserta pemilu. Tidak terasa, Abrul sudah menghabiskan 3 gelas kopi dan terus menghisap kretek milik Man Ojek. Wajah Joni tampak serius sekali, dia sudah membayangkan posisinya nanti sebagai Menteri Nelayan dan Kelautan. “Semua nelayan tradisional nanti akan saya berikan perahu mesin dan alat tangkap gratis, supaya mereka bisa bersaing dengan pengusaha besar,” kata Joni berapi-api.

Man Ojek tidak mau kalah, dia akan mendirikan sebuah perusahaan ojek online berbasis SMS (Short Message Service). Sehingga, tukang ojek tidak harus menggunakan ponsel android. Asal punya ponsel yang bisa SMS, dia sudah bisa mendaftar menjadi anggota ojek online miliknya. “Mereka inilah nanti yang akan menjadi lumbung suara kita,” tukas Man Ojek bersemangat.

Setelah masing-masing menyampaikan programnya, tiba-tiba Abrul menyela dengan suara yang cukup tinggi. “Interupsi! Dari tadi kita hanya membahas program. Tetapi, siapa yang menjadi ketua partainya?!” semua tertidam, saling menatap.

“Sepertinya, saya lah yang cocok menjadi ketua. Sebagai pengangguran, waktu saya banyak dihabiskan di depan televisi, saya sering menyaksikan berita-berita politik. Tentu saya lebih berpengalaman,” tukas Abrul sembari berdiri.

Pernyataan Abrul dibantah Joni. Dia merasa dirinyalah yang pantas menjadi Ketua Partai Coro. “Ooh... Tidak bisa. Saya seorang pelaut, sudah terbiasa menghadapi gelombang laut yang tinggi. Apalagi hanya sekedar menghadapi lawan-lawan politik kita,” tegas Joni.

“Benar! Joni sudah berpengalaman di lapangan. Sedangkan Anda saudara Abrul, belum memiliki banyak pengalaman. Kamu hanya termakan berita saja,” celetuk Parmin menambahkan.

Abrul tidak terima disebut belum berpengalaman. Dia mengaku pernah menjadi tim sukses salah satu calon legislatif. Meskipun jagoannya belum menang, tetapi setidaknya dia sudah memiliki cukup pengalaman mencari suara untuk partainya nanti. “Saya lebih mengerti bagaimana dinamika politik kita saat ini. Joni, dia hanya tahu soal laut, gelombang dan ikan. Bagaimana mungkin dia menjadi ketua. Bagaimana menurutmu, Mat Becak?” tandas Abrul mencari dukungan.

“Saya setuju kalau Abrul yang menjadi ketua. Dia lebih mengerti dunia politik. Sedangkan kita hanya disibukkan dengan bekerja,” kata Mat Becak.

“Nah..! Itu Mat Becak tahu. Saya lah yang pantas jadi ketua partai,” timpal Abrul Bangga.

“Tidak bisa, saya yang lebih pantas,” bantah Joni.

“Betul kata Joni!” sambung Parmin.

“Interupsi!!” akhirnya, Man Ojek yang dari tadi hanya diam menyampaikan aspirasinya.

“Perdebatan ini tidak akan ada ujung pangkalnya. Karena kita tahu, semuanya berkualitas. Saya usulkan, bagaimana kalau kita lakukan votting tertutup,” usul Man Ojek.

“Setuju..” mereka berempat menyepakati.

“Karena kau yang mengusulkan, silakan kau yang mengatur dan memimpin rapat Man Ojek,” ujar Abrul.

Man Ojek lalu mengambil kertas kosong dan mengguntingnya menjadi lima bagian kecil. Kemudian empat potongan kertas dibagikan kepada empat orang rekannya, untuk menuliskan nama calon ketua pilihan masing-masing. “Baiklah, rapat saya ambil alih. Kita menyepakati bahwa kita sekarang punya dua orang calon Ketua Partai Coro. Pertama Abrul dan kedua adalah Joni. Silakan tulis nama calon ketua pilihan anda masing-masing, pilih sesuai hati nurani. Ini adalah pemilihan langsung, umum, bebas dan rahasia,” sampai Man Ojek diplomatis.

Setelah masing-masing dari mereka menuliskan nama ketua pilihannya, tiba saatnya penghitungan suara. Man Ojek kembali membuka rapat. “Proses pemilihan sudah selesai. Sekarang saatnya kita masuk ke tahapan berikutnya, yakni penghitungan suara. Saya harap, semua tenang,” imbuh Man Ojek, lalu membacakan lima potongan kertas satu per satu.

“Abrul!”

“Abrul!”

“Joni!.”

Jantung Joni berdegub kencang, sementara dua suara untuk abrul, satu suara untuk Joni,  masih ada dua potongan kertas lagi yang belum dibacakan. Berdasarkan pemetaan politiknya, dua suara sudah dapat diprediksi bakal memilih Abrul, yaitu Abrul sendiri dan loyalisnya Mat Becak. Dan dia pun merasa optimis, dua suara sudah dalam genggaman. Yakni, Suara dirinya dan suara Parmin. Hanya suara Man Ojek yang sulit diprediksi. “Kalau begitu, suara Man Ojek menjadi penentu kemenangan, kira-kira siapa yang akan dipilihnya?” tanya Joni dalam hati.

Tingkah Man Ojek benar-benar membuat empat orang pendiri Partai Coro seperti berhenti bernafas. Dibukanya kertas perlahan-lahan, dintipnya pelan. Lalu digulungnya lagi. Dibukanya lagi. “Abrul!” teriak Man Ojek.

“Horeee...horee...” Abrul berteriak kegirangan. Ternyata suara keempat memilih dirinya untuk menjabat sebagai Ketua Partai Coro.

Sementara, Joni hanya tertunduk lemas. Ternyata, Man Ojek lebih memilih Abrul sebagai ketua partai. “Saya mengakui kekalahan ini. Sebagai kekalahan yang terhormat, karena kita sudah melaksanakan pemilihan dengan cara yang demokratis,” jelas Joni.

“Kawan-kawan, ini masih ada satu kertas lagi yang belum dibuka. Karena pemilihan ini berlangsung jujur, umum, bebas dan rahasia, saya harus membacakan isi seluruh kertas,” lanjut  Man Ojek.

“Silakan,” timpal mereka berempat.

“Abrul!” kata Man Ojek membacakan sisa kertas.

Mendengar Man Ojek menyebutkan nama Abrul, Joni sontak kaget, seperti tidak percaya. Diambilnya semua potongan kertas, dibacanya satu per satu. Dan ternyata benar, sebanyak empat kertas tertulis nama Abrul, hanya satu potongan kertas yang tertulis nama Joni, yaitu tulisan dirinya sendiri. “Parmin..! ternyata kau berkhianat. Bukankah dirimu pendukung ku? Lalu mengapa kau pilih Abrul?” sanggah Joni tak percaya.

Seperti tak berdosa, pertanyaan Joni dijawab enteng oleh Parmin. “Bung Joni, ini dunia politik,” jawab Parmin sembari mengangguk-angguk.

“Kalian pasti sudah di suap Abrul! Begitu rendahnya memilih pemimpin hanya karena uang. Saya tidak terima, saya akan melakukan gugatan,” tegas Joni.

Mendengar namanya dituduh sudah melakukan suap, Abrul angkat suara. “Hai Joni, anda jangan sembarangan menuduh, apakah anda punya bukti kalau saya sudah menyuap mereka?” cetus Abrul.

“Buktinya sudah jelas, Parmin berkhianat. Pemilihan ini cacat demi hukum. Secepatnya akan saya gugat ke Mahkamah Konstitusi!!” kata Joni berang, sembari mengacung-acungkan jari telunjuknya.

Tiba-tiba.. Braakkkkk!!! Terdengar suara meja dipukul oleh seseorang. Tetapi, suara tersebut bukan berasal dari meja mereka berlima. “Diaaam semuanya...!

Kelima orang tersebut seketika mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Tampak seorang wanita setengah baya berambut pendek, dengan postur tubuhnya yang besar. Ternyata, dia adalah pemilih warung kopi tersebut. “Sudah! Ribut saja kalian di sini. Bayar kopinya, lalu bubar sekarang juga. Saya mau tutup,” tegas wanita berbadan gemuk itu setengah berteriak.

Man Ojek, Mat Becak, Darmin dan Abrul kompak melihat ke arah Joni. Spontan, Joni lalu menunjukkan jari ke arah Abrul. “Kopi dibayar pak ketua,” kata Joni.

"Kenapa jadi saya?" tanya Abrul bingung.

"Iniah dunia politik," tukas Joni seketika pergi, kemudian disusul tiga orang temannya setengah berlari, kecuali Abrul yang sudah terlanjur kejebak.

Abrul hanya bisa cengengesan melihat tatapan tajam pemilik warung. “Bon dulu ya bik...” kata Abrul, perlahan-lahan menggeserkan kakinya lalu mengambil jurus langkah seribu.


Catatan: cerita di atas hanyalah fiksi semata. Jika ada kesamaan nama, tempat dan lainnya, bukanlah unsur kesengajaan. 



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close