Syiar Islam di Bengkulu (Dinasti Sungai Lemau Bagian II)

Syiar Islam di Bangkahulu (Dinasti Sungai Lemau Bagian II)
RUSAK: Sungguh memprihatinkan, beginilah kondisi makam Tuanku Baginda Pangeran Mangku Raja di Kampung Kelawi. Kondisinya sudah porak-poranda, kurang perhatian pemerintah setempat. Padahal, makam tersebut menjadi salah satu cagar budaya di Provinsi Bengkulu.

Pengeran Mangku Raja (1686-1710)

KOPICURUP.ID - Setelah Tuanku Baginda Pati Bangsa Raja wafat, kedudukan Baginda digantikan oleh putranya yang bergelar Baginda Pangeran Mangku Raja. Pangeran Mangku Raja menikah dengan cucu Sultan Bantan, anak Pangeran Nata Diraja dengan Putri Kemayun. Baginda Pangeran  Mangku Raja membuat kampung di sebelah kanan mendaki dari pantai, dinamakan tempat itu kampung Bangkahulu. Sewaktu mulai duduk memerintah, Baginda   Pangeran Mangku Raja membenahi manajemen pemerintahan kerajaan dengan membagi wilayah kota Bengkulu  menjadi 4 bagian.

BACA JUGA: Syiar Islam di Bangkahulu (Dinasti Sungai Lemau Bagian I)

Masing-masing  wilayah tersebut disebut Pasar yang dipimpin oleh seorang Mentri yang diberi gelar Datuk. Jabatan Datuk tersebut diambil dari turunan para Mentri yang menyertai Baginda Maharaja Sakti tatkala melakukan perjalanan dari Pagaruyung ke Bangkahulu tahun 1370 M, yaitu Agam, Sumpu, Melalo, Singkarak dan Sending Bungkah.

Keputusan yang dibuat oleh Tuanku Baginda Pangeran Mangku Raja disambut  baik oleh Kompeni Inggris guna melancarkan roda pemerintahan Baginda Pangeran Mangku Raja. Tuanku Baginda Pangeran Mangku Raja menciptakan sistem tata negara baru yang sebelumnya tidak pernah ada dan tidak lazim di zaman leluhurnya. Pangeran Mangku Raja menetapkan dan mengangkat 4 orang Menteri Hilir di kota Bengkulu untuk mengawasi pemerintahan Inggeris yang melakukan perdagangan dengan pihak Bumi Putera, berkedudukan di wilayah Pasar dan bergelar Datuk. Di bawah Datuk diangkat oleh Pangeran Mangku Raja Pemangku, untuk 4 orang Datuk maka terdapat 4 orang Pemangku pula. Di bawah Pemangku diangkat pula Penghulu Muda. Pemangku dan Penghulu Muda diangkat untuk membantu kelancaran tugas pemerintahan dan perdagangan sebagai sumber kekuatan finansial kerajaan Sungai Lemau yang bertangung jawab kepada Datuk sesuai wilayah masing-masing.

Di hulu diangkat pula 4 orang Menteri Hulu yang membawahi Pesirah. Pesirah berkedudukan memerintah Marga, Pesirah diberi gelar Depati, Pesirah membawahi dan dibantu oleh Pembarap, Pembarap berkedudukan  sebagai Pemangku dalam Marga, maka pada tiap-tiap Marga diangkat seorang Pesirah dan seorang Pembarap. Pembarap bertanggung jawab langsung kepada Pesirah. Di bawah Pembarap diangkat Perwatin yang bergelar Depati Dusun yang wilayahnya meliputi satu Dusun. Di bawah Perwatin diangkat Pemangku Dusun yang menjadi perpanjangan  tangan Perwatin. Jalur instruksi dari Baginda Pangeran Mangku Raja kepada kompeni Inggeris di hilir dititahkan kepada Menteri/Datuk, dari Menteri turun kepada Pemangku, dari Pemangku turun  kepada Penghulu muda. Di hulu, perintah Pangeran Mangku Raja kepada kompeni Inggeris dititahkan kepada Menteri, dari Menteri turun kepada Pesirah dari Pesirah turun kepada Pembarap dari Pembarap turon kepada Perwatin.

Syiar Islam di Bangkahulu (Dinasti Sungai Lemau Bagian II)
Masjid Al Mujahidin di Pasar Bangkahulu yang didirikan oleh Tuanku Baginda Pangeran Mangku Raja tahun 1687, masih berdiri kokoh hingga sekarang.

Baginda Pangeran Mangku Raja sebagai seorang ulama juga melakukan dakwah Syiar Islam untuk kepentingan jemaah menunaikan Sholat Jum'at. Berdasarkan ketentuan Fiqih Islam jika jumlah jemaah sudah mencapai batas minimal  40 orang maka umat Islam di  daerah itu dikenakan kewajiban melaksanakan Sholat Jum'at, secara ringkas disebut Jum'at 40 mukim. Segera pada tahun 1687 Baginda Pangeran Mangku Raja menitahkan pembangunan masjid yang diberi nama Al Mujahidin di Pasar Bangkahulu berhadapan dengan kampung Tuanku sendiri. Hari ini masjid tesebut masih berdiri kokoh, namun tidak terdapat kepedulian pemerintah Bengkulu untuk melestarikan masjid kuno tersebut.

Tahun 1680 Daeng Makulle menjadi menantu Baginda Pangeran Mangku Raja menikah dengan Datuk Nyai. Sebab itu Daeng Makulle dipromosikan memegang jabatan strategis baru dalam sistem ketatanegaraan Sungai Lemau membidangi kegiatan ekonomi dan perdagangan menjadi Menteri Kerajaan Sungai Lemau sebagai Datuk Dagang maka Daeng Makulle dikaruniai wilayah kekuasaan di Utara dibatasi oleh Air Bengkulu, di Barat mulai dari Tanah Merah Pendakian (Kebun Dahri) ke Pintu Batu (Jl.Jawa) hingga daerah Suka Merindu dan rawa Kampung Dalam dan Pantai Pasar Bengkahulu.

Di sebelah Selatan dari Jembatan Nibung (pondok Besi) lalu ke rawa Ountung (Kebun Ros) bertemu di Tanah Mersh. Di sebelah Timur dibatasi oleh Garis Pantai Bengkulu, Tuanku Baginda Pangeran Mangku Raja  menitahkan merambah dan membersihkan segala hutan belukar di  lingkaran batas itu Setelah selesai semua pekerjaaa tersebut nampaklah tanah bumi seakan-akan sebuah lapangan luas yang bersih maka dinamakan wilayah Daeng Makulle itu dengan Tengah Padang.

Guna mendukung kelancaran melakukan dakwah Islam Daeng Makulle mulai mendirikan Surau di persimpangan  dan pertemuan jalan ke arah Peramu'an, Pengantungan dan Pintu Batu ke arah Pasar Marlborough. Bangunan Surau itu dibuat  dari kayu yang beratap Rumbia dan ditingkahi oleh bahan­bahan yang terbuat dari bambu namun berukuran cukup besar. Dalam pembangunan Surau ini, Daeng Makulle  dibantu oleh anak menantunya, Kangjeng Raden Tumenggung Wirio Adiningrat pada saat inilah masuk unsur-unsur arsitektur seni bangunan Madura Jawa pada konstruksi bangunan Surau Gedang. Menilik dari ukurannya, Surau Gedang tersebut lebih pantas disebut masjid. Namun, di Surau Gedang belum dilaksanakan Jumat berjemaah. Kebiasaan waktu itu menyebut rumah ibadah Islam yang belum mendirikan Sholat Juma't disebut surau.

Daeng  Makulle sebagai Kepala Dagang memiliki kemampuan finansial untuk kepentingan pendirian Surau Gedang apalagi ia didukung oleh menantunya Kangjeng Raden Tumenggung  Wiro Adiningrat melakukan renovasi Surau Gedang menjadi bentuk yang lebih permanen.

Daeng Makulle wafat tahun 1753 digantikan oleh anaknya Daeng Makrupa, cucu Baginda Pangeran Mangku Raja diangkat  menjadi Kepala Dagang. Pihak Inggris memanggil Daeng Makrupa dengan julukan Daeng Mabella. Kekuasaan Daeng Makrupa tambah lama bertambah luas dan kuat, wilayah kukuasaannya tidak hanya Tengah Padang tetapi meliputi Tapak Jedah sampai ke Beringin Tanam (daerah Selebar). Wilayah ini seluas kota Bengkulu yang ada hari ini kecuali Rawa Makmur, Kandang Limun dan Bentiring). Daeng Makrupa inilah yang menegakkan Sholat Jumat 40 mukim di Tengah Padang. Berdasarkan ketentuan Fiqih Islam, Sholat Jumat wajib didirikan jika jemaahnya sudah mencukupi 40 orang, maka mulailah didirikan Sholat Jumat di Surau Gedang,

Semenjak itu, di Surau Gedang didirikan Jumat 40 mukim. Lalu Daeng Makrupa memperbaiki bangunan Surau Gedang menjadi bangunan masjid yang lebih kokoh dan permanen, dinamailah Surau Gedang itu dengan Masjid Agung. Karena kata gedang sendiri bersinonim dengan kata Agung (Raja H. Bakri Ilyas, 1994).

Setelah Daeng Makrupa berpulang ke Rahmatullah pada tahun 1834 maka pemeliharaan Masjid Agung diserahkan kepada kemenakannya, Raden Muhammad Zen yang juga menggantikannya menjabat Kepala Dagang Kota Bengkulu. Raden Muhammad Zen wafat tahun 1853 dimakamkan di dekat pobon beringin di belakang makam R. Sentot Alibasyah Abdul Mustapa Prawiradirja. Meskipun demikian, istilah Surau Gedang tetap saja melekat di benak masyarakat kota Bengkulu untuk Masjid Agung. Entah sebab apa, Masjid Agung justru diganti namanya menjadi Masjid Jamik? Mengganti nama tanpa dasar.

Kemudian datang orang-orang dan Malabari hendak duduk berniaga di Bengkulu. Oleh Tuanku Baginda Pangeran Mangku Raja, mereka itu dititahkan merambah dan membersihkan Padang Perupuk, di ujung tanjung dekat laut sebelah Barat Daya, di sanalah tempat orang Malabari itu. Lama kelamaan orang China dan lain-lain bangsapun mulai duduk berniaga pula di Bengkulu dan dititahkan oleh Baginda Pangeran Mangku Raja berbagi dua dengan orang Malabari, sepotong seorang yang menjadi Kampung China dan Berkas. Lalu  orang-orang China itupun membuat rumah kecil-kecil dan rendah­rendah saja, pokoknya dapat dijadikan tempat berjual-beli dengan orang dari hulu dan dari laut, maka disebut orang Pondok China.

Rakyat Kerajaan Sungai Lemau hidup tenteram dan damai, kegiatan ekonomi dan perdagangan maju pesat, seperti, menjual hasil-hasil hutan, perdagangan lada dan rempah-rempah serta basil bumi dengan pihak kompeni melalui pelabuhan. Pelabuhan  kapal dan perahu kala itu terletak berbadapan dengan Kampung Bangkahulu, tempat Tuanku Baginda Pengeran Mangku Raja duduk memerintah. Pada masa itu negeri Bangkahulu mulai ramai, kapal banyak masuk keluar, berniaga dengan orang Inggris.

Pada sisi lain, Guberur Joseph Collet pada 1718 mulai menunjukkan pembangkangan terhadap kekuasaan Kerajaan Sungai Lemau, semakin hari ketegangan hubungan tersebut semakin memuncak, pihak pimpinan  tertinggi Inggris di India Timur telah menyadari kesalahan yang dilakukan oleh Gubernur Joseph Collet maka dikirimlah Thomas Cooke ke Bengkulu pada tahun itu juga guna mengatasi ketegangan yang tengah terjadi. Namun, usaha Thomas Cooke gagal. Pada tahun 1719 terjadi perselisihan diantara Baginda Pengeran Mangku Raja dengan pihak Inggris karena orang Inggris mangkir janji serta curang dalam perdagangan rempah-rempah. Akibatnnya, Kerajaan Sungai Lemau yang dipimpin langsung oleh Baginda Pangeran Mangku Raja sebagai Panglima Perang melakukan operasi tempur gabungan. Benteng Marlborough dari arah Selatan diserang oleh Pasukan Selebar yang terdiri dari orang-orang Lembak yang dipimpin langsung oleh anak mendiang Pengeran Jenggalu, dibantu oleh pengikut-pengikut Ulama Besar Siddy Ibrahim, dari Utara Benteng Marlborough diserang oleh pasukan tempur di bawah perintah langsung Baginda Pangeran Mangku Raja yang terdiri dari orang-orang Melayu dan Rejang, dari Timur diserbu oleh angkatan perang dari Sungai Itam, dari dalam Benteng sendiri mereka ditekan oleh pasukan yang dipimpin oleh Daeng Makrupa, Kanjeng Raden Tumenggung Wirio Adiningrat dan Daeng Indra Alam. Di laut kekuatan tempur dari pangkalan Muara Sungai Lemau Balai Buntar bergabung dengan kekuatan tempur dari Kampung Bangkahulu didukung dengan pasukan bantuan dari anak Sungai Mukko-Mukko. Akibatnya, Benteng Inggris dapat dikuasai, kantor dagang Inggris dibakar habis, bangsa Inggris banyak yang mati terbunuh dan tertangkap yang mana yang masih hidup melarikan diri lintang pukang-terbang hambur sangat ketakutan malalui jalan rahasia bawah tanah menuju kapal-kapal yang tersedia ke tengah laut menuju India.

Setelah kejadian tersebut selama 6 bulan pihak Inggris tidak pernah muncul lagi. Secara tiba-tiba pihak Inggris mengutus pejabat tingginya menemui Baginda Pangeran Mangku Raja menyadari kekeliruanya dan meminta maaf sekaligus berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu. Akhirnya mereka diterima kembali untuk menempati benteng Marlborough. Pada saat itu, Baginda Pangeran Mangku Raja semakin disegani, kekuasaanya semakin bertambah kuat, sehingga Kerajaan Sungai Lemau semakin berpengaruh di Nusantara (Lihat J.K.Wells,  1977).

Tuanku Baginda Pangeraa Mangku Raja mangkat pada tahun 1720 karena sakit ringan, dimakamkan berdampingan dengan besannya Sutan Balinam. Makam Baginda Pangeran Mangkuraja dibuat berbentuk kubah yang ditopang oleh tiang-tiang sebesar batang kelapa dengan kubah yang lebih tinggi darl kubah makam Sutan Balinam, di kompleks pemakaman tersebut juga dimakamkan istri Baginda Pangeran Mangku Raja, Ibu Suri Baginda Pangeran Muhammad Syah serta Encik Siah. Kompleks pemakaman ini oleh masyarskat Pasar Bengkulu, Kampung Bali dan sekitarnya disebut Gobah (Raden Ahmad, 1972). Harl ini, lokasi gobah tersebut terletak di sebelah kantor Kelurahan Kampung Kelawi, namun kondisinya telah porak-poranda. Berdasarkan keterangan orang-orang tua setempat Gobah tersebut sengaja dibakar dan rusak. Kemudian Baginda Pangeran Mangku Raja digantikan oleh Sang Putra Mahkota naik tahta menjadi raja yang bergelar Pangeran Muhammad Syah.

Tuan Baginda Pangeran Muhammad Syah pindah dan bersemanyam kembali di Balai Buntar. Istana Mendiang Tuanku Baginda Pangeran Mangku Raja di Bangkahulu diserahkan kepada Datuk Nyai, istri Daeng Makulle, adik kandung paling bungsu Tuanku Baginda Pangeran Mubammad Syah sendiri. Segala hal ihwal di Bengkulu diserahkan kepada Daeng Makulle dan Pada waktu-waktu tertentu saja Tuanku Baginda Pangeran Muhammad Syah memeriksa roda perintahan di Bengkulu.

Surau Lama

Datuk Nyai menikah dengan Daeng Makulle mendapatka 7 orang anak, 1. Encik Badaria 2.Daeng Makrupa 3.Encik Ismail 4. Daeng Meriwa 5. Encik Sakdia 6. Encik Sopia 7. Encik Juriah. Daeng Makrupa kawin dengan orang Bintuhan, Daeng Meriwa menikah dengan Siti Patimah anak Syeikh Achmad Gunawi seorang Kapten, bangsawan dari Bagdad Irak. Encik Sakdia menikah dengan Raden Sangnata kemenakan Raden Tumenggung Wirio Adiningrat dari Madura keturunan Brawijaya, Raja Majapahit sedangkan Encik Juriah menikah dengan Raden Tumenggung Wirio Adiningrat anak Sultan Bangkalan Madura. Kemenakan Daeng Makrupa, anak Daeng Meriwa, Daeng Indra Alam menikah dengan Encik Dayang Siti Jena mempunyai keturunan Siti Jenibah. Siti Jenibah menikah dengan Sayid Muhammad Zen Al Madani, seorang Syeikh dari Hendramaut Tanah Arab. Ketika itu, Tuan Syeikh Sayid Muhammad Zen Al Madani mengajar mengaji dan melakukan Syiar Islam mendirikan sebuah pondok pengajian yang dikenal oleh orang Bengkulu sebagai Surau Lama. (Untuk kelanjutan kisahnya, silakan simak Syiar Islam di Bangkahulu (Dinasti Sungai Lemau Bagian III)

Ditulis Oleh: V. Sozi Karnefi Tahun 2000

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close