Pemkab Rejang Lebong Siap Garap 10.000 Ha Lahan Eks HGU untuk Tanaman Kopi, Targetkan Jadi Sumber PAD Baru

Petani kopi Rejang Lebong sedang memetik buah kopi merah di lereng bukit

KOPICURUP.ID
- Di tengah gempuran ketidakpastian ekonomi global dan tekanan domestik, Rejang Lebong justru menyimpan potensi besar yang masih kerap terabaikan: kopi. 

Tak hanya sebagai komoditas ekspor, kopi Rejang Lebong kini mulai dipertimbangkan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang strategis, berkelanjutan, dan inklusif. 

Hal ini mengemuka dalam diskusi ekonomi bertajuk 'Bincang Urusan Ekonomi: Kebijakan Terintegrasi Kajian dan Statistik Terbaru' yang digelar Bank Indonesia (BI) Perwakilan Bengkulu di Ballroom Hotel Sepanak, Curup, Rabu (23/7/2025).

Acara ini dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk Asisten II Setdaprov Bengkulu RA. Denni, SH, MM, Bupati Rejang Lebong HM. Fikri, SE, MAP, Kepala BI Bengkulu Wahyu Yuwana Hidayat, serta jajaran pejabat dari Kepahiang, Lebong, dan instansi vertikal lainnya.

Dalam forum strategis ini, terungkap data menarik dari Bupati Rejang Lebong: setiap tahun, sekitar 62.000 ton kopi berhasil dijual ke luar daerah dengan nilai PPN mencapai Rp 500 miliar.

Namun, ironisnya, potensi luar biasa ini belum berdampak signifikan pada kas daerah. Sebab, kebijakan pungutan langsung terhadap petani dinilai tidak adil dan bisa menurunkan kesejahteraan pelaku hulu kopi.

Dari Aroma Menjadi Angka: Konsep PAD Berbasis Perkebunan Kopi

Menjawab tantangan itu, Pemkab Rejang Lebong menawarkan solusi inovatif: membangun perkebunan kopi milik daerah yang dikelola oleh BUMD.

Saat ini, pemerintah daerah telah bekerja sama dengan Bank Tanah untuk menggarap 5.000–10.000 hektare lahan eks HGU dan lahan negara lainnya. 

Dengan model ini, pemerintah tak perlu membebani petani, namun tetap bisa memperoleh kontribusi PAD dari hilirisasi, pengolahan, dan distribusi kopi secara legal dan terukur.

Langkah ini sangat relevan dalam konteks transformasi ekonomi daerah. Ketika sektor pertambangan mulai dibatasi dan pariwisata masih bertumbuh, kopi menjadi penghubung strategis antara sektor pertanian, industri, dan perdagangan. 

Terlebih, kopi Rejang Lebong selama ini dikenal memiliki cita rasa khas dataran tinggi Bukit Barisan, yang mulai menembus pasar nasional hingga internasional.

Ekosistem Kopi sebagai Pendorong Ekonomi Lokal

Petani kopi Rejang Lebong sedang memetik buah kopi merah di lereng bukit.


Kopi tak berdiri sendiri. Ia menjadi denyut nadi ekonomi lokal, dari petani di lereng bukit hingga pedagang di pasar-pasar Curup. 

Di sisi lain, keberadaan berbagai lembaga pendidikan di Rejang Lebong menciptakan ekosistem pengetahuan dan SDM yang dapat mendukung pengembangan teknologi pasca-panen, manajemen pertanian modern, hingga digitalisasi pemasaran kopi.

Seperti disampaikan Asisten II Setdaprov, RA. Denni, Rejang Lebong bersama Kepahiang dan Lebong merupakan tiga pilar penting struktur ekonomi Bengkulu. 

Masing-masing memiliki potensi saling melengkapi, Rejang Lebong dengan komoditas kopi dan hortikultura, Kepahiang dengan agroindustri, serta Lebong dengan sumber daya mineral strategis.

Potensi Wisata Kopi dan Sinergi Multisektor

Lebih dari sekadar komoditas, kopi juga berpotensi dikembangkan sebagai bagian dari wisata edukasi dan agro-tourism. 

Hal ini selaras dengan langkah Pemkab Rejang Lebong yang tengah mengembangkan 94 destinasi wisata, termasuk Danau Mas Harun Bastari yang mulai menggeliat berkat atraksi baru seperti paralayang dan kano.

“Kami berharap Bank Indonesia turut mendukung, tidak hanya dari sisi ekonomi makro, tapi juga peralatan wisata dan penguatan kelembagaan lokal seperti Pokdarwis,” ujar Bupati Fikri.

Dengan integrasi antara sektor kopi, wisata, dan pengelolaan BUMD, Rejang Lebong memiliki peluang besar menciptakan PAD yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Kopi bukan hanya kebanggaan, tapi juga jalan menuju kemandirian fiskal.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close