Mengenal Syekh Nawawi al-Bantani, Ulama Internasional dari Indonesia, Pernah Jadi Imam Masjidil Haram

Mengenal Syekh Nawawi al-Bantani, Ulama Internasional dari Indonesia, Pernah Jadi Imam Masjidil Haram
Lukisan Syekh Nawawi al-Bantani oleh Kang Alam

KOPICURUP.ID
- Syekh Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama Indonesia yang terkenal secara internasional dan menjadi Imam Masjidil Haram. Dia dikenal sebagai al-Bantani karena berasal dari Banten, Indonesia. Syekh Nawawi adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif dalam menulis buku, dengan lebih dari 115 karya yang meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Karena ketenarannya, ia dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz), al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang Mahir dalam Ilmu), A'yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh Ulama Abad ke-14 Hijriyah), hingga Imam Ulama al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci).

Syekh Nawawi lahir di Kampung Tanara, Desa Tanara, Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1230 Hijriyah atau 1815 Masehi. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin 'Umar bin 'Arabi al-Bantani. Ia adalah anak sulung dari tujuh bersaudara, dengan adik-adiknya yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah, dan Sariyah. Ia merupakan keturunan ke-12 dari Sultan Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Nasabnya dapat ditelusuri hingga Nabi Muhammad ﷺ melalui jalur Kesultanan Banten.

Ayah Syekh Nawawi, Syekh Umar bin Arabi al-Bantani, adalah seorang ulama lokal di Banten, sementara ibunya bernama Zubaedah, seorang ibu rumah tangga. Syekh Nawawi menikah dengan Nyai Nasimah, seorang gadis asal Tanara, Serang, dan mereka memiliki tiga anak: Nafisah, Maryam, dan Rubi'ah. Sang istri meninggal sebelum dia. Sejak usia lima tahun, Syekh Nawawi mulai belajar ilmu agama Islam langsung dari ayahnya. Bersama saudara-saudara kandungnya, ia belajar tentang bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran, dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi belajar kepada K.H. Sahal, seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan belajarnya dengan Syekh Baing Yusuf di Purwakarta.

Meskipun usianya belum mencapai lima belas tahun, Syekh Nawawi telah menjadi guru bagi banyak orang, dan kemudian ia mencari tempat di pinggir pantai agar dapat mengajar murid-muridnya dengan lebih leluasa. Setelah mencapai usia lima belas tahun, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji dan kemudian belajar kepada beberapa ulama terkenal di Mekah saat itu.

Guru
Syekh Nawawi

Berikut adalah para ulama yang pernah ditimba ilmunya oleh Syekh Nawawi:
•    Syekh Umar bin Arabi al-Bantani (Ayahnya)
•    H. Sahal al-Bantani
•    Syekh Baing Yusuf Purwakarta
•    Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi
•    Syekh Ahmad Zaini Dahlan
•    Syekh Abdul Ghani al-Bimawi
•    Syekh Yusuf Sumbulaweni
•    Syekh Abdul Hamid Daghestani
•    Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi
•    Syekh Ahmad Dimyati
•    Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali
•    Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki
•    Syekh Junaid al-Batawi
•    Syekh Zainuddin Aceh
•    Syekh Syihabuddin
•    Syekh Yusuf bin Muhammad Arsyad al-Banjari
•    Syekh Abdush Shamad bin
•    SyekhAbdurahman al-Falimbani
•    Syekh Mahmud Kinan al-Falimbani
•    Syekh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani
•    Dan lain sebagainya.

Nasionalisme dan Pengabdian di Masjidil Haram

Setelah tinggal selama tiga tahun di Mekah, Syekh Nawawi kembali ke Banten sekitar tahun 1828 Masehi. Ketika tiba di tanah air, dia menyaksikan berbagai praktik ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat. Hal ini menyulut semangat perjuangan jihad. Sebagai seorang intelektual yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi mulai berdakwah di seluruh Banten untuk mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Namun, pemerintah Belanda kemudian membatasi aktivitasnya, termasuk melarangnya berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan, dia akhirnya dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro, yang saat itu sedang memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825-1830 Masehi). Akibat tekanan dan pengusiran dari Belanda, Syekh Nawawi kembali ke Mekah pada saat Perlawanan Pangeran Diponegoro mencapai puncak pada tahun 1830. Setelah kembali ke Mekah, dia melanjutkan studi mendalamnya dalam ilmu agama dengan para gurunya.

Syekh Nawawi mulai terkenal ketika ia menetap di Syi'ib 'Ali, Mekah. Ia mengajar di halaman rumahnya. Pada awalnya, jumlah muridnya hanya puluhan, tetapi seiring berjalannya waktu, jumlahnya semakin bertambah. Murid-muridnya datang dari berbagai belahan dunia. Syekh Nawawi al-Bantani menjadi terkenal sebagai seorang ulama yang mahir dalam ilmu agama, terutama dalam bidang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawuf. Namanya semakin terkenal ketika ia diangkat sebagai Imam Masjidil Haram, menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Ketenaran Syekh Nawawi al-Bantani tidak hanya terbatas di kota Mekah dan Madinah, namun juga meluas hingga ke Suriah, Mesir, Turki, dan Hindustan. 

Pemikiran Penting

Syekh Nawawi memiliki peran sentral di kalangan ulama al-Jawwi. Ia menginspirasi komunitas al-Jawwi untuk terlibat lebih serius dalam studi Islam dan juga berkontribusi dalam mendidik sejumlah ulama pesantren terkemuka. Bagi Syekh Nawawi, pembebasan masyarakat Islam di Indonesia dari cengkeraman kolonialisme adalah penting. Dia meyakini bahwa dengan mencapai kemerdekaan, ajaran-ajaran Islam dapat dengan mudah diterapkan di Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk tetap mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air melalui murid-muridnya yang berasal dari Indonesia serta memberikan kontribusi bagi perjuangan tersebut.

Pemikiran
Syekh Nawawi untuk kemajuan masyarakat Indonesia

Selain mengajarkan pelajaran agama, Syekh Nawawi juga menyampaikan makna kemerdekaan dan anti-kolonialisme secara halus. Dia mencetak kader-kader patriotik yang kelak mampu meneruskan perjuangan untuk kebenaran. Meskipun perjuangan Syekh Nawawi tidak melibatkan revolusi fisik, namun melalui pendidikan, dia berhasil menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme.

Upaya pembinaan yang dilakukan oleh Syekh Nawawi terhadap komunitas al-Jawwi di Mekkah juga menarik perhatian serius pemerintahan Belanda di Indonesia. Produktivitas komunitas al-Jawwi dalam menghasilkan alumni dengan integritas keilmuan agama dan semangat nasionalisme menjadi kekhawatiran bagi Belanda. Untuk mengawasi aktivitas komunitas al-Jawwi, pemerintah Belanda mengirim penasihat pemerintah bernama Christian Snouck Hurgronje untuk mengunjungi Mekkah pada tahun 1884-1885.

Kedatangan Snouck bertujuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan oleh ulama Indonesia yang tergabung dalam komunitas al-Jawwi.

Di antara murid-murid Syekh Nawawi yang menjadi ulama berpengaruh antara lain:

•    Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi
•    Syekh Kholil al-Bangkalani, Madura
•    Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri
•    Syekh Tubagus Muhammad Asnawi al-Bantani, Caringin, Labuan, Pandeglang
•    Syekh Arsyad Thawil al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888 dan Penyebar Islam di  Sulawesi Utara
•    Syekh Abu al-Faidh Abdus Sattar bin Abdul Wahhab ad-Dahlawi, Delhi, India - Pengajar di Masjidil Haram
•    Sayyid Ali bin Ali al-Habsy - Pengajar di Masjidil Haram
•    Syekh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
•    Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, Pattani, Thailand
•    Syekh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani - Cucu Syekh Nawawi
•    H. Saleh Darat as-Samarani
•    H. Hasyim Asyari, Jombang - Pendiri Nahdlatul Ulama
•    H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta - Pendiri Muhammadiyah
•    H. Hasan Genggong - Pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong
•    H. Mas Abdurahman - Pendiri Mathla'ul Anwar
•    H. Raden Asnawi, Kudus
•    Haji Abdul Karim Amrullah, Sumatra Barat
•    H. Thahir Jamaluddin, Singapura
•    H. Dawud, Perak, Malaysia
•    H. Hasan Asyari, Bawean
•    H. Najihun, Mauk, Tangerang
•    H. Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang
•    H. Ilyas, Kragilan, Serang
•    H. Wasyid - Pejuang Geger Cilegon 1888
•    H. Tubagus Ismail - Pejuang Geger Cilegon 1888
•    H. Arsyad Qashir al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888
•    H. Abdurrahman - Pejuang Geger Cilegon 1888
•    H. Haris - Pejuang Geger Cilegon 1888
•    H. Aqib - Pejuang Geger Cilegon 1888 ,Dan lain sebagainya.

Di antara gelar kehormatan yang disematkan kepada Syekh Nawawi al-Bantani adalah:

•    al-Sayyid al-'Ulama al-Hijaz (tokoh ulama Hijaz) atau Sayyidul Hijaz (penjaga Hijaz)
•    Nawawi at-Tsani (Nawawi kedua). Orang pertama yang memberi gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani
•    al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam)
•    A'yan 'Ulama al-Qarn ar-Ram 'Asyar Li al-Hijrah (tokoh ulama abad 14 Hijriyah)
•    Imam 'Ulama Al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci)
•    Doktor Ketuhanan (orang pertama yang memberikan gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Christiaan Snouck Hurgronje)
•    asy-Syaikh al-Fakih (disematkan oleh kalangan pesantren) Bapak Kitab Kuning Indonesia (disematkan oleh para Ulama Indonesia).

Ulama asal Mesir, Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar, dalam kitabnya "al-Durus min Madhi al-Ta'lim wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram" (Beberapa Kajian Masa Lalu dan Masa Kini tentang Pendidikan di Masjidil Haram), menyebutkan bahwa Syekh Nawawi sangat produktif dalam menulis, dengan jumlah karya mencapai lebih dari seratus judul yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Banyak dari karya-karyanya merupakan syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.

Sebagian dari karya-karya Syekh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:

Al-Tsamar al-Yani'ah syarah al-Riyadl al-Badi'ah
•    al-'Aqd al-Tsamin syarah Fath al-Mubîn
•    Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
•    Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
•    al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
•    Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
•    Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
•    Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
•    Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiy
•    Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
•    al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
•    Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
•    Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
•    Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
•    Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
•    Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
•    Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
•    Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah
•    Maulid Syarif al-‘Anâm
•    Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
•    Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
•    Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
•    Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
•    Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
•    al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
•    ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
•    Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
•    Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
•    al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
•    Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
•    Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
•    al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
•    al-Riyâdl al-Fauliyyah
•    Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
•    Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
•    al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
•    Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
•    al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
•    Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.

Karya tafsirnya, al-Munir, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Sementara Kasyifah al-Saja merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safinatun Najah, karya Syekh Salim bin Sumeir al-Hadhramy. Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah misalnya adalah Tijan ad-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya dia di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja, dan yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa yaitu Syarah ’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain. Adapun Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf.

Diantara karomah beliau:

Telunjuk Bersinar dan Dapat Menjadi Lampu Penerang

Pada suatu perjalanan dalam syuqduf (rumah-rumahan di punggung unta), Syekh Nawawi menghadapi situasi di mana tidak ada cahaya yang tersedia. Namun, semangat dan keinginannya untuk menulis sebuah kitab tetap membara di dalam dirinya. Dalam keadaan tersebut, Syekh Nawawi menggunakan kreativitasnya dan berdoa kepada Allah agar telunjuk kirinya dapat menjadi sumber cahaya yang dapat menerangi jari kanannya saat menulis.

Dengan izin Allah, telunjuk kirinya memancarkan cahaya yang cukup terang, sehingga memungkinkan Syekh Nawawi untuk menulis kitab yang diharapkan. Kitab tersebut kemudian diberi nama "Maraqi al-'Ubudiyyah syarah Matan Bidayah al-Hidayah", yang merupakan sebuah syarah atau komentar terhadap kitab "Bidayah al-Hidayah". Namun, penggunaan telunjuk kirinya sebagai lampu berakibat pada cacat pada jari tersebut, bekas dari cahaya yang diberikan oleh Allah tidak hilang dan terus ada pada jari telunjuk kirinya sebagai tanda pengorbanannya dalam menulis kitab tersebut.

Melihat Ka'bah dari Tempat Lain yang Jauh

Karamah lain Syekh Nawawi juga diperlihatkannya di saat ia mengunjungi Masjid Pekojan, Jakarta. Masjid yang dibangun oleh Sayyid Utsman bin 'Agil bin Yahya al-'Alawi (mufti Betawi keturunan Rasulullah ﷺ) itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsman sendiri.Tak ayat, saat Syekh Nawawi yang dianggapnya hanya seorang anak remaja tak dikenal menyalahkan penentuan kiblat, Sayyid Utsman sangat terkejut. Diskusipun terjadi antara keduanya, Sayyid Utsmân tetap berpendirian bahwa kiblat Mesjid Pekojan tersebut sudah benar, sementara Syekh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat haruslah dibetulkan. Saat kesepakatan tidak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syekh Nawawi remaja menarik lengan baju Sayyid Utsmân dan dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat, kemudian berkata:

"Lihatlah Sayyid!, itulah Ka'bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah!"

"Tidakkah Ka'bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke arah Ka'bah."

Sayyid Utsman termangu. Ka'bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syekh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsman merasa takjub dan menyadari bahwa remaja yang bertubuh kecil di hadapannya itu telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Yang dengan karamah itu, di manapun dia berada Ka'bah akan tetap terlihat. Dengan penuh hormat Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh kecil Syekh Nawawi. Sampai saat ini di Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser dan tidak sesuai aslinya.

Jasad yang Tetap Utuh

Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota dan lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan tersebut dijalankan tanpa pandang bulu hingga menimpa pula pada makam Syekh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. 

Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya, yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet dan tidak ada tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain kafan penutup jasad Syekh Nawawi tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.Terang saja kejadian tersebut mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil, yaitu larangan dari pemerintah untuk membongkar makam Syekh Nawawi. Jasadnya lalu dikuburkan kembali seperti sediakala, dan hingga sekarang makam Syekh Nawawi tetap berada di Ma'la, Mekah.

Shalat di Dalam Mulut Ular Besar

Suatu hari ketika dalam perjalanan, Syekh Nawawi istirahat di sebuah tempat untuk azan kemudian salat. Setelah ia azan ternyata tidak ada orang yang datang, akhirnya ia qamat lalu salat sendirian. Usai shalat Syekh Nawawi kembali melanjutkan perjalanan, tapi ketika menengok ke belakang, ternyata ada seekor ular raksasa dan mulutnya sedang menganga. Akhirnya ia tersadar bahwa ternyata ia salat di dalam mulut ular yang sangat besar itu. Syekh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1897
 Masehi. Makamnya terletak di Jannatul Mu'alla, Mekah. Makam dia bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.Meski wafat di Jazirah Arab, namun hingga kini setiap tahunnya selalu diadakan haul atau peringatan wafatnya Syekh Nawawi al-Bantani di tanah air, tepatnya di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara di Tanara, Serang, asuhan K.H. Ma'ruf Amin. Haul Syekh Nawawi selalu ramai dihadiri para santri Nusantara, bahkan mancanegara.

Berikut adalah silsilah Syekh Nawawi al-Bantani sampai kepada Rasulullahﷺ :

  • Syekh Nawawi al-Bantani bin
  • Syekh Umar al-Bantani bin
  • Syekh Arabi al-Bantani bin
  • Syekh Ali al-Bantani bin
  • Syekh Jamad al-Bantani bin
  • Syekh Janta al-Bantani bin
  • Syekh Masbuqil al-Bantani bin
  • Syekh Maskun al-Bantani (Tubagus Mahmud /Tubagus Mas Kun) bin
  • Syekh Masnun al-Bantani (Tubagus Wiranegara 1) bin
  • Syekh Maswi al-Bantani (Pangeran Wiraraja / Pangeran Jagalautan) bin
  • Syekh Tajul Arsy al-Bantani (Pangeran Sunyararas) bin
  • Sultan Maulana Hasanuddin bin
  • Sultan Syarif Hidayatullah bin
  • Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan bin
  • Sayyid Ali Nurul Alam Azmatkhan bin
  • Sayyid Jamaluddin Akbar Azmatkhan al-Husaini (Syekh Jumadil Kubro) bin
  • Sayyid Ahmad Jalal Syah Azmatkhan bin
  • Sayyid Abdullah Azmatkhan bin
  • Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
  • Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadramaut) bin
  • Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (Hadramaut) bin
  • Sayyid Ali Khali' Qasam bin
  • Sayyid Alawi ats-Tsani bin
  • Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
  • Sayyid Alawi Awwal bin
  • Sayyid al-Imam 'Ubaidillah bin
  • Sayyid Ahmad al-Muhajir bin
  • Sayyid 'Isa Naqib ar-Rumi bin
  • Sayyid Muhammad an-Naqib bin
  • Sayyid al-Imam Ali Uradhi bin
  • Sayyidina Ja'far ash-Shadiq bin
  • Sayyidina Muhammad al-Baqir bin
  • Sayyidina Ali Zainal Abidin bin
  • Sayyidina Husain bin
  • Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti
  • Sayyidina Muhammad ﷺ


Sumber:
- Biografi Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Oleh: GUS MUHAMMAD IRFAN ZIDNY, LC/https://qotrunnada-depok.ponpes.id
- https://id.wikipedia.org/wiki


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close