Efektifkah Kurikulum 2013

Suatu malam, tiba-tiba saya menerima SMS dari dari seorang teman, yang menanyakan apakah saya memiliki kenalan yang bekerja di Kantor Telkom. Maksud dan tujuannya ingin menyambung jaringan internet speedy ke rumahnya. Lalu saya balas, "kalau begitu langsung saja ke Telkom. Minta disambungkan speedy, pasti mereka melayani dengan senang hati," ujar saya.


Namun, yang menjadi persoalan adalah di lingkungan rumahnya belum ada jaringan (kabel) internet speedy. Karena itu dia berharap, kalau-kalau saya bisa membantu supaya orang Telkom bersedia memasang jaringan internet ke lingkungan rumahnya. Saya jawab saja, bahwa tidak semudah itu, sebab untuk memasukkan jaringan speedy ada syarat dan ketentunya.

Ternyata, keinginannya untuk menyambung jaringan internet itu karena desakan anaknya yang sekarang duduk di Kelas 5 SD. Karena, hampir setiap mata pelajaran di sekolah, ketika pulang anak harus membuka-buka internet, untuk mencari bahan pelajaran. Teman saya itu jelas saja bingung dan kasihan kepada anaknya yang selalu merengek-rengek. Apalagi selama ini dia tidak begitu paham dengan istilah-istilah pada komputer apalagi internet. Lantas saya sarankan saja dia agar menggunakan modem internet. Karena, sekarang semua provider sudah menggunakan jaringan 3G yang kecepatannya bisa dikatakan lumayan, meskipun di daerah kami terkadang sinyal 3G nya hilang.

Begitulah kira-kira (mungkin) gambaran kurikulum 13. Saya membayangkan, bagaimana dengan masyarakat yang berada di desa-desa atau bahkan di dusun-dusun yang sama sekali belum ada jaringan 3G atau pun Telkom. Celakanya, sampai saat ini masih ada beberapa buku pelajaran kurikulum 13 yang belum sampai ke sekolah-sekolah, sehingga mau tak mau harus membuka internet.

Sudah sering saya mendengar keluhan para guru, yang merasa bingung dengan konsep kurikulum 13. Ternyata sosialisasi kurikum 13 ini belum merata diterima guru dan belum semua guru memahaminya. Beberapa teman di daerah Jawa, apalagi Sumatera mengaku "stres" dengan metode terbarukan ini. Nah, gurunya saja sudah stres bagaimana mereka mau mengajarkan siswa/muridnya dengan baik dengan benar.

Tujuan kurikulum 13 ini sebenarnya baik, karena Kurikulum 2013 merupakan suatu kurikulum yang dibentuk untuk mempersiapkan lahirnya generasi emas bangsa Indonesia,dengan sistem dimana siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM).

Pada kurikulum 13 ini ditekankan 3 Aspek:

Pengetahuan
Pengetahuan dalam kurikulum 2013 sama seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya, yaitu penekanan pada tingkat pemahaman siswa dalam pelajaran. Nilai dari aspek pengetahuan bisa didapat dari Ulangan Harian, Ujian Tengah/Akhir Semester, dan Ujian Kenaikan Kelas. Pada kurikulum 2013, Pengetahuan bukan aspek utama seperti pada kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Keterampilan
Keterampilan merupakan aspek baru dalam kurikulum di Indonesia. Keterampilan merupakan penekanan pada skill atau kemampuan. misalnya adalah kemampuan untuk mengemukakan pendapat, berdiksusi/bermusyawarah, membuat laporan, serta berpresentasi. Aspek Keterampilan merupakan salah satu aspek penting karena hanya dengan pengetahuan, siswa tidak dapat menyalurkan pengetahuan tersebut sehingga hanya menjadi teori semata.

Sikap
Aspek sikap merupakan aspek yang agak sulit untuk dinilai. Sikap meliputi sopan santun, adab dalam belajar, absensi, sosial, dan agama. Diperlukan kerja sama yang baik antara orang tua,guru mata pelajaran, wali kelas dan guru BK agar penilaian aspek ini lebih optimal. Agar penilaian sikap dapat diterapkan setiap tatap muka, guru harus menyiapkan lembar pengamatan penilaian sikap.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_2013)

Hanya saja yang jadi persoalan, tidak semua guru bisa memahami dan mampu menerapkan kurikulum 13 itu kepada siswa dengan baik dan benar, sehingga materinya pun tidak diterima dengan baik pula oleh siswanya. Apalagi dengan kurikulum 13 ini anak-anak sudah diajarkan penalaran yang rumit, yang sebetulnya belum mampu diterima oleh otak sekelas anak SD.

Seperti kasus beberapa waktu lalu yang sempat menghobohkan dunia maya. Tentang perhitungan atau logika matematika 4+4+4+4+4+4= 4x6 atau 6x4. Banyak yang bingung bedanya di mana dan salahnya apa. Setelah dijelaskan oleh pakar matematika barulah bisa dipahami, bahwa jawaban yang benar adalah 6x4 bukan 4x6 meskipun hasilnya sama-sama 24.

Karena menerima nilai yang hampir semuanya salah, tentu saja berdampak kepada psikologis anak. Anak akan merasa malu, merasa tidak mampu dan sebagainya.

Mungkin guru sudah memberikan penjelasan kepada siswanya mengapa salah dan bagaimana seharunya (yang benar). Tetapi, karena kemampuan nalar anak kelas 2 SD yang terbatas, saya rasa penjelasan sang guru tidak begitu dipahami dengan baik. Lha, kita saja sempat bingung mengapa harus disalahkan padahal hasilnya sama-sama 24. "Apa sih beda 6x4 sama 4x6?" celetuk teman saya.

Apalagi anak kelas 2 SD, tentu saja hanya bisa menerima, apa yang dikerjakannya salah, tetapi logikanya atau cara bernalarnya kesulitan menerima penjelasan sang guru.

Karena itu, secara pribadi saya berharap agar kurikulum 13 tersebut dikaji dan ditinjau ulang. Karena, secara georgrafis, psikologis dan budaya Indonesia sangat berbeda. Apalagi ditinjau dari segi pembangunan yang saat ini belum merata menyentuh seluruh lapisan masyarakat hingga ke pelosok-pelosok. Latar pendidikan guru pun berbeda-beda. Harapan saya, dikaji ulang dengan melibatkan banyak elemen. Seperti tokoh pendidikan, guru, tokoh agama, psikolog, psikiater, tokoh budaya dan sebagainya.

Salam Hangat

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close