Membaca Prof Nietzsche dan Prof Lizar (Bagian 1)


Watak Kehilangan di Ilmu dan di Sastra

Prof. Lizar
Penulis: Prof. Hudan Hidayat*

Kalimat-kalimat menarik hati kita temukan di mana saja, juga di kata pengantar buku Nietzsche, kalimat-kalimat Robert John Holingdale. Kata-katanya mirip dengan ucapan Nanere. Keduanya bertemu di sebuah objek: kata yang unik. Dihayati Holingdale dalam sambutannya kepada buku Nietzsche (Zarathustra), objek yang unik. Nanere juga mengucapkan kata unik kepada buku Prof Lizar Alfansi. Yang membedakan keduanya adalah bahannya, saat kata unik dioperasikan. Buku Nietzsche dalam tingkatan peculiar style kalau membawakan kutipan buku Prof Abrams (the mirror and the lamp, bab Style and the Man), hal yang tak mungkin terjadi karena sifat buku Prof Lizar Alfansi lain dengan sifat buku Profesor Nietzsche.

Membayangkan ilmu ekonomi atau manajemen, disentuh dengan peculiar style, adalah mengimajinasikan akal yang diberi kaki penari, membuat kata tampak mengkhianati arti dan maknanya sendiri. Imajinasi, dan kelak metapora, membuatnya tak tetap lagi di tempatnya sebagai pengertian. Peculiar style hanyalah menyisakan bahwa, kata diperlakukan pengarang secara menarik, cara yang tidak biasa alias unik. Sungguhkah hakikat kedua buku ini lain? Pada lain yang sempurna, kata unik tentu tak bisa masuk. Tapi ia dimasukkan dalam buku Pemasaran Jasa Finansial.

Ia adalah Dr Marthin Nanere, seorang Profesor di lembaganya, La Trobe University, Australia. Kita amati kata unik pada dua buku yang pada hakikatnya sama ini. Apakah unik? Kamus mengucapkannya sebagai kata sifat, ajektif. Sifat dari sesuatu itu unik: "tersendiri dalam bentuknya; lain daripada yang lain; tidak ada persamaan dengan yang lain." Mungkinkah sesuatu tidak "ada persamaan dengan yang lain", alias ia "sendiri dalam bentuknya"? Bentuknya adalah dunia dengan isinya; kenyataannya dunia direspon manusia. Cara merespon yang unik, cara manusia bukan cara hewan. Dengan demikian ia memang unik, hanya manusia yang punya kesanggupan merespon dunia lewat bahasa (lisan atau tulisan). Saat unik ini dihadapkan ke sesama manusia, ia kehilangan "kesanggupan untuk berbeda secara sempurna dengan hewan". Kesamaan pertama manusia berbahasa, tetapi berbahasa yang unik. Buku mulai berbeda, bisa kita raba saat kedua penulis memberikan tanggapan padanya. Dr Marthin Nanere: "Sebagai akademisi yang sudah berkecimpung dalam bidang pemasaran perbankan selama lebih dari satu dekade, Profesor Lizar Alfansi mampu menulis buku pemasaran jasa finansial yang sangat unik, dengan mengombinasikan pendekatan teoritis, empiris, dan praktis."

Nah, "sangat unik", artinya ia lain dari buku "pemasaran jasa finansial" yang lain, buku yang menurut Ir Arief Daryanto "ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti". Marthin Nanere mengucapkan hal yang sama, bahwa buku ini "mudah dimengerti bagi semua kalangan pembaca yang tertarik dengan pemasaran jasa di Indonesia."

Kita amati kesungguhan para penulis kata pengantar ini. Dr Marthin Nanere datang dari sebuah universitas di luar negeri - ia seorang profesor di La Trobe. Saat melihat ke La Trobe kalimat ini menunggu kita. "We stack up against the world's best. There are over 20,000* universities in the world. We’re in the top 1.5%." Sebuah pernyataan akan apa yang telah mereka capai, dalam tudung "Rankings and Ratings".

H.B. Jassin sedang menerjemahkan Zarathustra saat istrinya meninggal, dan ia mulai membaca Surah Yasin. Baru di Pra Wacana, terjemahan Jassin, tetapi lalu kemudian ia berhenti menerjemahkan Zarathustra, karena Jassin tertarik dengan al-Quran, dan mulai menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Kata Jassin, saat ia membaca Surah Yasin untuk mendoakan istrinya, kamarnya wangi. Zarathustra ini buku yang unik - "buku akbar yang ganjil", kata Robert John Holingdale. Ganjil itu unik, lain dari buku lain. "Ia adalah letusan-letusan kata, metafora, figurasi dan permainan kata yang mengesankan adanya letusan perasaan."

Di sini peculiar style itu, tetapi di sini juga sifat unik buku Pemasaran Jasa Finansial mulai mengambil alurnya sendiri - bukan alur di mana pemikiran ditatah oleh alat-alat sastra, yang membuat pikiran bisa menjadi "ganjil" - unik. Prof Lizar Alfansi memang tidak dalam alur yang sama dengan Prof Nietzsche saat mereka menuliskan bukunya. Seorang kakak memberikan kamera kepada adik perempuannya, dengan begitulah bunga membuka kelopaknya - menerima curahan bakat lewat alat (kamera) yang sampai kepadanya. Jadi bakat itu dipupuk, salah satu pupuknya ialah sarana - kamera yang diberikan oleh Edwin Tirani kepada Adek Berry - lahirlah buku fotografi Mata Lensa.

Kita akrabi geneologi ini untuk menghayati kata "unik" yang dicungkupkan ke buku Prof Lizar Alfansi, mulai bertemu dengan sebuah kemungkinan yaitu "tradisi membaca karya-karya sastra" sang Profesor saat ia kuliah. Kata-kata "mudah dimengerti" mulai mengambil jalurnya sendiri, yakni alur yang indah, saat kata terpasang sebagai bahasa, ia menjadi bahasa yang indah.

Majalah Tempo (yang digandrungi oleh Profesor saat ia kuliah), rasanya ikut menumbuhkan tradisi berbahasa indah ini. Ia adalah bagian dari "unik" yang kita raba - bahwa buku ilmu pengetahuan dituliskan dengan cara seolah-olah sastrawan menuliskan karya sastra, cara yang indah. Saya mulai merenungi kata-kata saya sendiri, kedua buku yang tampaknya berbeda ini pada hakikatnya sama. Buku Prof Lizar jelas bukanlah buku di mana letusan-letusan perasaan ditampilkan sebagai bentuk dalam sastra, tapi Zarathustra Prof Nietzsche memang permainan seperti ini - letusan-letusan perasaan menjadi motifnya menulis.

Membaca kata Pengantar Lizar, bertemu dengan semangat menuliskan objeknya, objek yang telah ia tekuni selama lima belas tahun, membuat kita memikirkan kata obsesi di dalam sastra, bahwa seseorang mengobsesikan bahannya seperti para penyair atau sastrawan. Apakah seseorang tahan bergaul dengan bahan selama itu tanpa obsesi, inilah yang membuat kedua "buku" mulai berjalur sama. Buku adalah hasil pikiran, dan pikiran mulai saling mendekati. Mereka berpikir, apakah yang dipikirkan oleh Nietzsche? Apa yang dipikirkan oleh Lizar? Keduanya memikirkan dunia dari sudut pandangnya sendiri. Nietzsche seorang filsuf, telah ia lepaskan sistem-sistem ilmu; membebaskan pikirannya. Sementara Lizar seorang akademisi yang setia dengan sistem di mana ilmunya tumbuh. Ia ketat di sini, dan buku mulai menempuh alurnya sendiri, alur ilmu pada Lizar dan alur karya sastra pada Nietzsche. "For anyone interested in applying linguistic methods to the study of literature an obvious procedure would be to use the categories of linguistics to describe the language of literary texts..." (Jonathan Culler, Structuralist poetics)., maka cukup dengan menggeser in print ("one way is to define 'literature' as everything in print" (Rene Wellek & Autin Warren, Theory of Literature), bagi pengertian sastra, segala teks dapat kita pandang sebagai sastra, dan diperlakukan dengan cara berjalan bolak-balik: sastra ke non sastra, non sastra ke sastra. Alhasil: filsafat seperti ekonomi: keduanya sastra. Apakah oleh ini Allah Swt berbahasa dalam kitabNya, Surat Penyair, meretas model penyair menjadi perilaku manusia.
(Bersambung)


Prof. Hudan Hidayat
Prof. Hudan Hidayat
Tentang Penulis:
Tokoh sekaligus peraih Anugerah Persuratan Dunia Numera 2017 Malaysia ini, merupakan pria kelahiran Yogyakarta dan menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Kota Curup, Provinsi Bengkulu.

Lulusan Fisipol Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jaya Baya ini juga sudah banyak menulis karya sastra. Menurutnya, menjadi pengarang (sekaligus kritikus) karena sudah jadi garis tangan. Cerpen pertamanya diterbitkan di majalah Zaman tahun 1984. Kemudian ‘Orang Sakit’ (Indonesia Tera), ‘Keluarga Gila’, ‘Lelaki Ikan’. Novelnya Tuan dan Nona Kosong. Pada tahun 2009, Profesor Hudan Hidayat sebagai peserta aktif Seminar Kepengarangan Muslimah Nusantara dan seterusnya sebagai peserta forum bandingan ‘Gitanyali dan Ayn’ yang diadakan UPSI  bersama Dr Lalitha Sinha, serta Baca Puisi Dunia Numera 2014.

Pada Seminar Internasional Melayu Islam ini, Hudan Hidayat mendapat kehormatan menyampaikan sambutan tentang Sastra Melayu Islam dalam Naungan Al Quran dengan menggarap teori Li Sajidin.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close